WHITE SHADOW

Tetesan air hujan memecahkan lamunanku, sejak tadi ku amati lampu hias didekat tempat tidurku yang terus menyala.. Cahaya gelap terang menghiasi kamar tidurku yang remang-remang dan hanya dicukupi oleh lampu kecil ini. Aku bergidik kedinginan,, angin meniup pohon-pohon rindang yang menghiasi pekarangan rumahku gemuruh petir menggelegar di luar sana Empat dinding beton penyekat kamar tidurku tak mampu menahan udara dingin yang menembus ventilasi kamar tidurku, lantai yang kududuki masih terasa dingin walau sudah dilapisi dengan karpet tebal.
Di semua sisi kamarku tergantung rak-rak kayu yang berisi buku-buku koleksiku. Tirai kamarku tersibak karena hembusan angin, hujan terus mengguyur rumah besar ini dengan aku sendiri yang berada didalamnya. Ku kembalikan posisi tirai ku seperti semula, ku lihat diluar masih sepi. Mobil Ayah juga belum terlihat, rasa kesendirianku memaksaku untuk tetap tinggal dikamar.
DAR….


Kudengar suara pintu dibanting, aku bisa menebaknya. Sudah pasti dia Rara, adik perempuanku, lebih tapatnya adik sepupuku, yang selama ini terus mengganggu kehidupanku. Rara adalah putri dari pamanku, karena mengidamkan anak perempuan Ibu mengadobsinya,
Ku dengar Rara masih berada di ruang bawah, dengan segera aku keluar dari kamar kemudian menghampirinya yang tengah duduk diruang tengah sembari mengusap-usap rambutnya yang basah dengan handuk.
“Ra….Kau membuka pintu bisa lebih keras lagi?”
“Ah…. Dio. Tadi kan hujan jadi maklum kalau Rara buru-buru.”
“Kelayapan kemana kamu seharian ini?”
“Ya, Cuma main kerumah teman kok, Oh ya, masak apa Mas aku lapar belum makan.” Lagi-lagi ia mengalihkan pembicaraan.
“Ra… aku serius.”
”kenapa sih, Rara juga serius kok. sendiri yang sering cari masalah.”
PLAKK….
Tangan kananku mendarat di pipi kirinya, wajahnya tiba-tiba berubah. Wajahnya merah, matanya pun berkaca-kaca, ia memandangku dengan tatapan tajam. aku tak habis pikir melakukan hal sebodoh itu. Namun, ada sedikit rasa puas dalam diriku.
Rara mengecungkan telunjuknye di depan wajahku, kelihatannya ia sudah tidak bisa mengucap apa-apa lagi.
“Apa?” Aku kembali menantangnya, kelakuannya semakin tak bisa ku toleransi.
“Ingat posisimu dirumah ini. Kau hanya numpang disini.” Aku kembali meneriakkinya.
Rara melempar handuknya ke atas kursi, ia berlari meninggalkan ku di ruang tengah. Terdengar suara tangisnya yang kian menjadi-jadi, Rara nekat menerobos hujan yang kian deras.
“Bodoh, malam-malam begini mau kemana dia?”
“Hah... menyusahkan saja.”
. Ku kejar Rara semampu ku, aku takut Rara mengadu pada Ayah atau Ibu. Tak berapa lama. Ku lihat cahaya putih diikuti gemuruh mesin menyambar sesosok tubuh yang berada di depanku, suara dentuman terdengar sesaat, kemudian ada sesuatu yang terlemapar. Aku tak tahu pasti siapa korban itu namun bendayang menabraknya itu terlihat seperti mobil. Aku masih terpaku menatap pemandangan itu, sedangkan si pengemudi terus melaju meninggalkan korbannya yang tergeletak lemah.
Ku dekati sosok itu, tiba-tiba suhu tubuhku berubah terasa keringat dingin keluar di sekujur tubuhku. Dadaku mendadak sesak, tanganku dingin. Dan jantungku seperti berhenti berdetak, ku amati wajahnya. Air mataku meleleh ku dekap tubuhnya. Ku dekap gadis itu, yang tak lain adalah Rara.

***
ICU
Rara masih terbaring lemah di bilik rumah sakit. Aku mengintip dari jendela tempatnya dirawat. Perasaanku sedikit lega, ku lihat ia masih bernafas dan jantungnya masih berdetak walaupun masih sangat lemah. Tiba-tiba kurasakan tanganku ditarik dari belakang.
“Dio”Ayah tengah berdiri dihadapanku dengan muka masam. Aku menunduk kemudian kembali duduk. Ku amati Ibu masih menangis di samping Bibi yang terus menenangkannya, sesekali ia pun mengusap air matanya.
“Dio, Ayah tak habis fakir kau…” Ayah hampir memukulku di depan orang banyak. Namun, niatnya itu segera dihadang oleh Pamanku.
“Kau, tak perlu memukulnya.” Paman menepuk pundak Ayahku. Aku sadari aku hampir saja memnghilangkan satu nyawa seseorang.
Ku alihkan pandanganku kearah koridor rumah sakit, aku melihat sosok yang tak asing lagi bagiku. Ia mengenakan gaun putih, wajahnya nampak bercahaya.
“Rara…” tanpa sadar aku memanggil Rara. Serentak seluruh keluarga pun memandangiku dan lagi-lagi Ayah ingin melayangkan pukulannya kepadaku. Untuk yang kedua kalinya paman menyelamatkanku. Dengan segera ku tinggalkan mereka yang masih menunggu Rara. Aku merasa penasaran dengan sosok itu benarkah dia Rara. Separuh hati ada keyakinan dalam diriku.Tapi…..
Tiga jam berlalu, kami masih menunggu dokter yang bertugas menangani Rara. Sedangkan malam semakin larut, ibu masih terus saja menangis. Ayah masih terlihat panik, Paman dan Bibi berusaha memperlihatkan wajah yang tenang. Aku benar-benar tidak merasa mengantuk, perasaan takutku ini mengalahkan segalanya. Aku ingin menunggu sampai dokter keluar dari kamar Rara.
Tak lama kemuian ku dengar suara pintu terbuka, seorang berbaju putih itu keluar dari ruangan tempat Rara dirawat. kami menghampirinya,
“Bagaimana dok?” ayah seolah-olah tak ingin didahului.
“Banyak berdo’a saja. Kami akan usahakan yang terbaik, Rara baik-baik saja hanya mungkin ia belum bisa sadar untuk waktu-waktu dekat ini.”

***
Akhir-akhir ini aku terus dihantui Rara dengan gaun putihnya yang indah, ia selalu tersenyum padaku. Entahlah, aku selalu yakin bahwa itu Rara, aku sering menceritakanya pada Ibu atau Ayah tapi mereka semua menganggapku gila.
“Dio, kau terlalu tua untuk berimajinasi. Tidak lucu, Rara masih dirumah sakit.” Ibu selalu mengatakan hal itu padaku. Sedangkan Ayah,” Dio, sepertinya Ayah perlu membawamu ke psikolog.”
Aku dianggap seperti orang gila di mata mereka. Seminggu setelah kejadian itu, aku semakin diasingkan oleh teman-temanku. Mereka menjuhiku karena ceritaku mengenai sosok Rara, malahan ada salah seorang temanku yang mengejek,
“Katanya intelek, mana? Dasar sombong.”
Kepalaku dipenuhi dengan hal-hal yang memberatkan ku, mulai dari soal pelajaran sekolah, orang tua yang semakin menjauhiku, dan teman-teman yang menganggapku sinting. Anehnya, pada saat-saat seperti itulah sosok Rara datang, ia datang dengan senyum. Menghampiriku yang tengah sedih dan merasa terasingkan ini. Walaupun, tak sepatah kata yang teruncap darinya, aku tahu ada maksud tertentu dalam dirinya, dengan senyumnya yang mengembang itu aku yakin ia tidak marah padaku.
Sebulan berlalu, terpaksa Rara dibawa pulang. Tak ada perubahan sedikitpun dalam dirinya. Ia masih terkulai dalam tidur panjangnya. Aku yang setiap hari menungguinya, menjaganya. Aku harap ia kembali sadar dan bangun.
Siang itu sepulang sekolah aku bertugas menjaganya, ku benahi bantal dan selimutnya. Tanpa sengaja ku sentuh tangannya, ku rasakan dingin. Bibirnya membiru dan seluruh tubuhnya terasa kaku, ku sentuh pergelangan tangannya nadinya serasa berhenti. Tidak mungkin, tidak mungkin.
“Tidak mungkin………Rara……….” ku goyangkan tubuhnya yang seolah membeku itu.

***
“He….he….bangun, siang-siang tidur. Ini, Rara baru datang disambut.” Ibu membangunkan ku dari mimpi burukku, tak kusangka semua yang kualami tadi hanya lah mimpi semata.



FIN
Stumble
Delicious
Technorati
Twitter
Facebook
Reddit

0 Response to "WHITE SHADOW"

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme